Rabu, 27 Februari 2013

Setengah Bola Basket


Setengah Bola Basket

Namaku Jack, Aku terlahir dari keluarga sederhana dipinggiran kota New York. Aku mempunyai satu saudara perempuan bernama Marrie. Ayahku seorang supir taksi dan ibuku hanya ibu rumah tangga. Usiaku masih 15 tahun. Aku termasuk orang yang cupu, sedikit kuper, dan hanya memikirkan masa depan yang sangat tinggi: menjadi boss perusahaan terkenal dan hidup lebih layak daripada ayahku ini.
Aku sedang duduk dipinggir lapangan basket sekolahku. Membaca Novel Nightmare yang baru saja aku beli kemarin. Tiba-tiba sebuah bola basket meluncur deras kearah kepalaku.
“Ouch!!” Aku berteriak.
Tampak dari seberang lapangan Jarret, Kid, dan Anthony tertawa melihatku kesakitan.
“Maafkan kami, Nerd. haha” ucap Jarret.
“Hei Jack, berikan bola itu kembali!” teriak Anthony menahan tawa.
“Jack! Kalau tidak bisa passing bawa saja bola itu kemari. Hahaha” ledek Jarret.


Aku yang saat itu tersinggung mendengar kata kata mereka tidak bisa menahan amarah. Kuambil bola itu dan melemparkannya kea rah semak semak sekolahku. Dengan wajah polos aku berteriak:
“Ups, sorry, aku tidak sengaja melemparkannya!”
Segera aku meninggalakan tempat itu . terlihat muka mereka sedikit kesal dengan kelakuanku tadi. Tapi biarkan sudah, kan mereka sudah mempermalukan aku di depan Tim Basket mereka. Hahaha
Selesai sudah buku tadi aku baca dan segera aku pulang, sengaja aku melewati lapangan tadi hanya untuk meihat anak-anak basket berlatih. Tapi Aneh, dimana mereka semua? Aku melihat jam tanganku masih menunjukan jam  setengah lima sore.
“Mungkin mereka pulang lebih cepat.” Pikirku.
Aku menoleh ke semak semak, tenyata masih ada bola basket yang aku lempar tadi. Ternyata mereka semua malas, mengambil saja tidak mau. Aku ambil bola itu, Aku bawa pulang kerumah.
“Lumayan, setidaknya aku bisa melepas rindu terhadap bola basket ini, haha.”
Ya, dulu aku adalah atlet basket tingkat smp. Banyak teman SMP-ku yg bertanya mengapa aku Tidak melanjutkannya di jenjang SMA. Aku hanya bisa tersenyum mendengar mereka bertanya. Berat memang melepas bola basket. Tapi mau bagaimana lagi, ayahku melarang dengan keras agar lebih fokus  sekolahku daripada basketku. Aku tidak dapat mengelak. Selama ayahku bilang tidak, ya tidak akan terjadi.

Three Point!! haha”  Aku berteriak
Tak menyangka tembakan tiga angkaku masih akurat. Meskipun sudah sekitar enam bulan aku vakum dari olahraga ini. Ya setidaknya tidak banyak berubah lah dari terkahir aku bermain.
Lapangan yang aku gunakan ini tidak terlalu besar, hanya setengah dari ukuran normal lapangan basket. Terletak di sekitar rumahku. Ayahku masih belum tau aku memiliki bola basket, karena memang aku menyimpannya dirumah tetangga.
Aku melihat David, kapten tim basket sekolahku,  sedang berada di seberang jalan. Aku keheranan, mengapa dia kesini? Tapi aku berlagak cuek. Tidak tahu menahu kalau dia diseberang jalan.
Selesai sudah aku bermain basket sore ini. Aku sudah tidak melihat David diseberang jalan. Ketika aku sudah berada di pagar lapangan tersebut, aku dikejutkan suara yg tak lain adalah suara David.
Three point!! haha”
Aku tidak tau kapan dia kesana, rupanya dia membawa bola basket sendiri. Aku menoleh dan benar! Itu suara David! Aku bertanya,
“Kapan kau kesini?”
“Haha, kau tidak sadar kalau aku sudah disini dari tadi?”
“Ya Aku tau kau tadi diseberang jalan, tapi aku tidak tahu kapan kau kesini.”
David hanya tersenyum. Dia melanjutkan,
“Kenapa kau tidak ikut tim? Dengan kemampuanmu kau bisa menembus tim, kau bisa melakukan lebih dari Jarret, Kid, dan Anthony lakukan?”
“Oh, jadi kau tau tentang mereka bertiga?
“Ya aku tahu. Kau sempat ada masalah dengan mereka kan? Jadi megapa kau tidak masuk tim?”
Aku bingung, dia terus mendesakku untuk menjawab pertanyaanya. Aku tidak ingin menjelaskan masalah keluargaku. Tapi dia adalah kapten tim. Dia tau cara untuk membuat orang jujur padanya. Mau tidak mau aku menjawabnya.
“Yah, aku harus fokus terhadap pendidikanku. Saat ini yang terpenting adalah menjadi orang yang lebih baik daripada ayahku”
“Jadi ayahmu seseorang yang buruk?” tanyanya.
“Tidak seperti itu! Ayahku bukan seseorang yang buruk!” bantahku
“Lantas, bagaimana?”
“Ayahku ingin aku untuk hidup lebih layak daripada dirinya. Ia tak ingin melihatku menjadi supir taksi seperti dirinya sekarang” kataku menjelaskan.
“Bukankah atlet basket lebih baik daripada supir taksi? Apalagi kita berada di Amerika. Tempatnya liga basket bergengsi di dunia. Kita sudah dekat untuk meraih gelar rookie, setelah itu kau bisa jadi professional. Jika memang kau pintar, semestinya kau bisa berfikir seperti itu.” Jelasnya.
Aku tercenggang dengan kata katanya. Tak pernah terfikirkan seperti itu di kepalaku. Aku terdiam, tidak bisa menjawab kata kata David. Betapa bodohnya aku. Mungkin jika waktu itu aku bilang seperti ini pada ayahku. Sekarang aku sudah menjadi bagian penting di tim basket sekolahku.
“Pikirkan kata kataku tadi.”
David lalu pergi dengan muka penuh senyum, mungkin dalam hatinya dia gembira sudah menang melawanku dalam perbincangan tadi.
Dalam perjalanan pulang aku masih memikirkan kata kata David tadi. Mengapa aku tidak berfikiran seperti itu. Aku bodoh. Aku fikir jalan yang aku perjuangkan sudah benar, meninggalkan basket demi pendidikan tinggi. Sementara jalan yang lebih mudah ada. Aku bisa merintis karir basketku dengan tekun dan menjadi professional yg hebat dan mendapat banyak uang. Aku ingin mencoba mengatakannya kepada ayah. Tetapi ia akan marah besar jika aku mengatakannya sekarang. Lebih baik aku tidak mengatakannya dahulu.
Aku ingin bertemu dengan David lagi. Membicarakan tentang tim. Apakah aku masih bisa masuk dalam tim? Aku ingin memulai sebelum semua terlambat.
Suatu hari pada saat tim latian. Aku kembali duduk di tribun.  Terlihat Jarret, Kid, dan Anthony sedang diberi sanksi. Haha, biar tau rasa. Memang Basket bukan tempat untuk bergaya.
“Jack!!” Terdengar suara yang tidak asing memanggilku.
“Cepat ikut aku, pelatih ingin menemuimu.”
“Tapi aku tidak membawa peralatan basketku, memang tidak punya sih”
“Siapa yg suruh kau untuk bermain, pelatih hanya ingin mengenalmu. Aku yang merekomendasikan namamu pada pelatih.”
“sial, kirain mau diajak main” batinku
Aku berhadapan dengan pelatih tim. Nerveous juga sih langsung berhadapan dengan pelatih. “Mr. Bud” begitu mereka memanggilnya. Dia tampak tua dengan rambut putih. Yah, dia memang hanya ingin mengenalku dulu, dia juga sudah banyak dengar cerita David tentang aku. Setelah berbincang, dia tiba tiba melemparkan bola basket kepadaku.
“coba kau shooting bola itu dari sini kearah ring itu. Aku hanya memastikan kalau kau bisa bermain basket seperti yang David katakan”
Aku cukup kaget, dengan jarak sejauh itu, kemungkinan bola masuk akan sangat kecil. Tapi aku menerima tantangan itu. Dengan percaya diri aku shooting   bola itu dan “slop” masuk dengan mulus. Jarret, Kid, dan Anthony yang melihat kejadian itu hanya bisa terbengong. Pelatih tersenyum dan berkata:
“Ternyata memang benar apa yang dikatakan David, Kau jenius dalam basket.”
Aku hanya bisa tersenyum dengan pujian Mr. Bud
“Kau bisa masuk tim, kami punya persediaan peralatan basket untukmu di gudang, tapi entah cukup buatmu apa tidak.”
Tak kusangka tes masuk tim hanya seperti itu. Aku hampiri David untuk menyatakan terima kasih yang sangat banyak. Berkat dirinya, tes masuk tim hanya seperti itu.
“ Hai Kapten! Terima kasih banyak, apa yang harus aku lakukan untuk membalas kebaikanmu?”
“Buktikan saja dengan caramu bermain di lapangan. Angkat tim ini menuju juara.”
Lagi lagi aku tercengang dengan kata kata Kapten. Dia sosok luar biasa. Bisa aku jamin, ketika dia lulus SMA dan masuk Universitas, dia akan dengan mudah menembus NBA. Aku ingin menjadi seperti dirinya kelak. Atlet basket yang sangat disiplin, tegas, dan dihormati.
“Cepat ambil peralatanmu, Kau tidak punya waktu untuk bengong disini!”
“Siap Kapten!”

Sudah tiga bulan ternyata aku di tim ini. Teman temanku sudah percaya padaku. Mereka sudah tidak menganggapku nerd. Kid, Jarret, dan Anthony juga sudah berteman baik padaku. Semua begitu lancar, Ayahku sudah kuberi tau dan dia menerimanya. Dengan bantuan David tentunya.

“aku sudah tidak sabar mengangkat piala itu”
Yah, Saat ini adalah turnamen pertamaku. Aku telah membuktikan kata kata David kalau aku bisa menembus tim ini. Sangat mengesankan! Turnamen pertama, Final pertama, dan aku berharap gelar emas pertama! Turnamen antar sekolah tingkat SMA di New York itu diikuti oleh banyak perserta dan kami selangkah lagi akan menjadi raja di New York.
Pertandingan dimulai. Laga final penuh gengsi, penuh tensi. Laga berjalan keras. Penuh dengan teriakan supporter masing masing sekolah. Aku merasa semua akan baik baik saja. Sampai pada akhirnya, aku dijatuhkan dengan sengaja saat ingin melakukan lay up. Posisi badan yang tidak menguntungkan membuatku salah bertumbu saat mendarat. Pergelangan tangan kananku patah! mengerikan sekali! Segera aku dilarikan ke rumah sakit. Rasa sakit ini telah mengalahkanku. Aku menangis, menahan rasa sakit juga meninggalkan lapangan dengan keaadaan tidak berdaya.
“Kau tidak cedera kan, Jack?” suara Jarret, bersama Anthony juga Kid.
Aku tidak tau apa yang mereka pikirkan, jelas jelas aku kesakitan karena pergelangan tanganku patah. Mereka masih bisa menayakan kalau aku tidak cedera.
“Tenang, Jack. Serahkan sisanya kepada kami, kami bisa membawa kemenangan untukmu mala mini. Percayalah pada kami”
Lagi-lagi kata kata David yang menenangkanku. Meskipun aku sedang dalam keadaan kesakitan namun setidaknya bisa membuatku merasa baikan.
Entah apa yang membuatku tertidur hingga keesokan harinya aku terbangun dengan tim yg kemarin berjuang di final membawa sebuah piala besar dikamar rawat inapku. Aku memegang piala itu dengan tangan kiriku.
“Akhirnya aku dapat meraih piala yang seharusnya kemarin aku pegang.”
“Hahaha, sayangnya kau tidak dapat memegangnya dengan tangan terbaikmu, Jack!” Mr. Bud menyahuti.
Semua tertawa sampai aku sadar bahwa David tidak ada di ruang itu. Aku bertanya pada teman temanku.
“Dimana Kapten?”
“Dia sedang berurusan dengan orang tuamu.”
“Berurusan tentang apa?”
“Tentang karirmu sebagai Atlet Basket” Mr. Bud menjawab
“Maksudnya?”
“Ayahmu, kemarin marah besar kepada tim. Dia sangat murka dengan cederamu. Dia kemarin bilang kalau dia tidak akan mengijinkanmu bermain basket”
Aku terdiam.
“kesalahanku, aku yang semestinya bicara dengan orang tuaku. Ini kesalahanku.”
“yakinlah pada kapten, dia terkadang bisa menghipnotis orang dengan kata katanya. Hahaha” kata Kid mencairkan suasana
“Yah, berharap saja dia menang melawan ayahku. Haha”

Dengan kondisi seperti ini aku menjalani hari dengan sulit. Meskipun pada akhirnya David memenangkan perdebatan dengan ayahku, ayahku seperti belum rela melepaskanku kembali ke lapangan. Akupun terus berusaha menyakinkan ayahku kalau tidak perlu ada yg ditakutkan dengan kondisiku.  
Cedera pada pergelangan tangan kananku membuatku belajar menjadi seorang kidal. Tapi aku tidak ambil pusing, dengan seperti ini aku bisa melatih kemampuan tangan kiriku yang kurang berguna jika aku bermain basket, Haha. Kan Asik, setelah cedera bukan semakin jelek, melainkan semakin jago bermain basket.
three point!! haha”
Akhirnya aku dapat menggunakan tangan kananku kembali. Sekitar dua bulan aku berkutat dengan cedera ini. Aku dapat memulihkan permainan terbaikku dengan cepat. Aku bangga, disini teman temanku yang semula meledekku, sekarang membantuku kembali ke tim. Aku bisa melanjutkan apa yang mereka telah bangun selama satu tahun ini. Dan kami telah siap melanjutkan apa yang senior kami bangun dengan status kapten tim ada pada tanganku.

“Beda Generasi, Satu tujuan, JUARA!!”
Begitulah kata kata Kapten David, mentor dan sekaligus panutan bagiku. Karena sesuatu tidak akan ada apa apanya tanpa adanya sang pembuat sejarah. Dan bagiku sesuatu itu adalah TIM, dan sang pembuat sejarah adalah mereka para senior yang telah memberikan segalanya terhadap tim. Bagaimanapun aku ingin menjadi seperti mereka!



“aku adalah bola basket. Tanpa mereka yang menggerakkanku(baca: mendukungku), aku hanya bisa diam. Dan dengan mereka yang menggerakkanku, aku bisa melakukan segalanya.” - anonim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar