Setengah Bola Basket
Namaku Jack, Aku terlahir dari keluarga
sederhana dipinggiran kota New York. Aku mempunyai satu saudara perempuan
bernama Marrie. Ayahku seorang supir taksi dan ibuku hanya ibu rumah tangga.
Usiaku masih 15 tahun. Aku termasuk orang yang cupu, sedikit kuper, dan
hanya memikirkan masa depan yang sangat tinggi: menjadi boss perusahaan terkenal dan hidup lebih layak daripada ayahku ini.
Aku sedang duduk dipinggir lapangan
basket sekolahku. Membaca Novel Nightmare
yang baru saja aku beli kemarin. Tiba-tiba sebuah bola basket meluncur
deras kearah kepalaku.
“Ouch!!” Aku berteriak.
Tampak dari seberang lapangan Jarret,
Kid, dan Anthony tertawa melihatku kesakitan.
“Maafkan kami, Nerd. haha” ucap Jarret.
“Hei Jack, berikan bola itu kembali!” teriak
Anthony menahan tawa.
“Jack! Kalau tidak bisa passing bawa
saja bola itu kemari. Hahaha” ledek Jarret.
Aku yang saat itu tersinggung mendengar
kata kata mereka tidak bisa menahan amarah. Kuambil bola itu dan melemparkannya
kea rah semak semak sekolahku. Dengan wajah polos aku berteriak:
“Ups, sorry, aku tidak sengaja melemparkannya!”
Segera aku meninggalakan tempat itu .
terlihat muka mereka sedikit kesal dengan kelakuanku tadi. Tapi biarkan sudah,
kan mereka sudah mempermalukan aku di depan Tim Basket mereka. Hahaha
Selesai sudah buku tadi aku baca dan
segera aku pulang, sengaja aku melewati lapangan tadi hanya untuk meihat
anak-anak basket berlatih. Tapi Aneh, dimana mereka semua? Aku melihat jam
tanganku masih menunjukan jam setengah
lima sore.
“Mungkin mereka pulang lebih cepat.”
Pikirku.
Aku menoleh ke semak semak, tenyata
masih ada bola basket yang aku lempar tadi. Ternyata mereka semua malas,
mengambil saja tidak mau. Aku ambil bola itu, Aku bawa pulang kerumah.
“Lumayan, setidaknya aku bisa melepas
rindu terhadap bola basket ini, haha.”
Ya, dulu aku adalah atlet basket tingkat
smp. Banyak teman SMP-ku yg bertanya mengapa aku Tidak melanjutkannya di
jenjang SMA. Aku hanya bisa tersenyum mendengar mereka bertanya. Berat memang
melepas bola basket. Tapi mau bagaimana lagi, ayahku melarang dengan keras agar
lebih fokus sekolahku daripada basketku. Aku tidak dapat
mengelak. Selama ayahku bilang tidak, ya tidak akan terjadi.
“Three Point!! haha” Aku berteriak
Tak menyangka tembakan tiga angkaku
masih akurat. Meskipun sudah sekitar enam bulan aku vakum dari olahraga ini. Ya setidaknya tidak banyak berubah lah
dari terkahir aku bermain.
Lapangan yang aku gunakan ini tidak
terlalu besar, hanya setengah dari ukuran normal lapangan basket. Terletak di
sekitar rumahku. Ayahku masih belum tau aku memiliki bola basket, karena memang
aku menyimpannya dirumah tetangga.
Aku melihat David, kapten tim basket sekolahku,
sedang berada di seberang jalan. Aku keheranan, mengapa dia kesini? Tapi
aku berlagak cuek. Tidak tahu menahu
kalau dia diseberang jalan.
Selesai sudah aku bermain basket sore
ini. Aku sudah tidak melihat David diseberang jalan. Ketika aku sudah berada di
pagar lapangan tersebut, aku dikejutkan suara yg tak lain adalah suara David.
“Three
point!! haha”
Aku tidak tau kapan dia kesana, rupanya
dia membawa bola basket sendiri. Aku menoleh dan benar! Itu suara David! Aku
bertanya,
“Kapan kau kesini?”
“Haha, kau tidak sadar kalau aku sudah
disini dari tadi?”
“Ya Aku tau kau tadi diseberang jalan,
tapi aku tidak tahu kapan kau kesini.”
David hanya tersenyum. Dia melanjutkan,
“Kenapa kau tidak ikut tim? Dengan
kemampuanmu kau bisa menembus tim, kau bisa melakukan lebih dari Jarret, Kid,
dan Anthony lakukan?”
“Oh, jadi kau tau tentang mereka bertiga?
“Ya aku tahu. Kau sempat ada masalah
dengan mereka kan? Jadi megapa kau tidak masuk tim?”
Aku bingung, dia terus mendesakku untuk
menjawab pertanyaanya. Aku tidak ingin menjelaskan masalah keluargaku. Tapi dia
adalah kapten tim. Dia tau cara untuk membuat orang jujur padanya. Mau tidak
mau aku menjawabnya.
“Yah, aku harus fokus terhadap pendidikanku. Saat ini yang terpenting adalah
menjadi orang yang lebih baik daripada ayahku”
“Jadi ayahmu seseorang yang buruk?”
tanyanya.
“Tidak seperti itu! Ayahku bukan
seseorang yang buruk!” bantahku
“Lantas, bagaimana?”
“Ayahku ingin aku untuk hidup lebih
layak daripada dirinya. Ia tak ingin melihatku menjadi supir taksi seperti
dirinya sekarang” kataku menjelaskan.
“Bukankah atlet basket lebih baik daripada supir taksi? Apalagi kita berada
di Amerika. Tempatnya liga basket bergengsi di dunia. Kita sudah dekat untuk
meraih gelar rookie, setelah itu kau
bisa jadi professional. Jika memang
kau pintar, semestinya kau bisa berfikir seperti itu.” Jelasnya.
Aku tercenggang dengan kata katanya. Tak
pernah terfikirkan seperti itu di kepalaku. Aku terdiam, tidak bisa menjawab
kata kata David. Betapa bodohnya aku. Mungkin jika waktu itu aku bilang seperti
ini pada ayahku. Sekarang aku sudah menjadi bagian penting di tim basket
sekolahku.
“Pikirkan kata kataku tadi.”
David lalu pergi dengan muka penuh
senyum, mungkin dalam hatinya dia gembira sudah menang melawanku dalam
perbincangan tadi.
Dalam perjalanan pulang aku masih
memikirkan kata kata David tadi. Mengapa aku tidak berfikiran seperti itu. Aku
bodoh. Aku fikir jalan yang aku perjuangkan sudah benar, meninggalkan basket
demi pendidikan tinggi. Sementara jalan yang lebih mudah ada. Aku bisa merintis karir basketku dengan tekun dan
menjadi professional yg hebat dan mendapat banyak uang. Aku ingin mencoba
mengatakannya kepada ayah. Tetapi ia akan marah besar jika aku mengatakannya
sekarang. Lebih baik aku tidak mengatakannya dahulu.
Aku ingin bertemu dengan David lagi.
Membicarakan tentang tim. Apakah aku masih bisa masuk dalam tim? Aku ingin
memulai sebelum semua terlambat.
Suatu hari pada saat tim latian. Aku
kembali duduk di tribun. Terlihat
Jarret, Kid, dan Anthony sedang diberi sanksi. Haha, biar tau rasa. Memang
Basket bukan tempat untuk bergaya.
“Jack!!” Terdengar suara yang tidak
asing memanggilku.
“Cepat ikut aku, pelatih ingin
menemuimu.”
“Tapi aku tidak membawa peralatan
basketku, memang tidak punya sih”
“Siapa yg suruh kau untuk bermain,
pelatih hanya ingin mengenalmu. Aku yang merekomendasikan namamu pada pelatih.”
“sial, kirain mau diajak main” batinku
Aku berhadapan dengan pelatih tim. Nerveous juga sih langsung berhadapan
dengan pelatih. “Mr. Bud” begitu mereka memanggilnya. Dia tampak tua dengan
rambut putih. Yah, dia memang hanya ingin mengenalku dulu, dia juga sudah
banyak dengar cerita David tentang aku. Setelah berbincang, dia tiba tiba
melemparkan bola basket kepadaku.
“coba kau shooting bola itu dari sini kearah ring itu. Aku hanya memastikan
kalau kau bisa bermain basket seperti yang David katakan”
Aku cukup kaget, dengan jarak sejauh
itu, kemungkinan bola masuk akan sangat kecil. Tapi aku menerima tantangan itu.
Dengan percaya diri aku shooting bola itu dan “slop” masuk dengan mulus.
Jarret, Kid, dan Anthony yang melihat kejadian itu hanya bisa terbengong.
Pelatih tersenyum dan berkata:
“Ternyata memang benar apa yang
dikatakan David, Kau jenius dalam basket.”
Aku hanya bisa tersenyum dengan pujian
Mr. Bud
“Kau bisa masuk tim, kami punya
persediaan peralatan basket untukmu di gudang, tapi entah cukup buatmu apa
tidak.”
Tak kusangka tes masuk tim hanya seperti
itu. Aku hampiri David untuk menyatakan terima kasih yang sangat banyak. Berkat
dirinya, tes masuk tim hanya seperti itu.
“ Hai Kapten! Terima kasih banyak, apa
yang harus aku lakukan untuk membalas kebaikanmu?”
“Buktikan saja dengan caramu bermain di
lapangan. Angkat tim ini menuju juara.”
Lagi lagi aku tercengang dengan kata
kata Kapten. Dia sosok luar biasa. Bisa aku jamin, ketika dia lulus SMA dan
masuk Universitas, dia akan dengan mudah menembus NBA. Aku ingin menjadi seperti dirinya kelak. Atlet basket yang
sangat disiplin, tegas, dan dihormati.
“Cepat ambil peralatanmu, Kau tidak
punya waktu untuk bengong disini!”
“Siap Kapten!”
Sudah tiga bulan ternyata aku di tim
ini. Teman temanku sudah percaya padaku. Mereka sudah tidak menganggapku nerd. Kid, Jarret, dan Anthony juga
sudah berteman baik padaku. Semua begitu lancar, Ayahku sudah kuberi tau dan
dia menerimanya. Dengan bantuan David tentunya.
“aku sudah tidak sabar mengangkat piala
itu”
Yah, Saat ini adalah turnamen pertamaku.
Aku telah membuktikan kata kata David kalau aku bisa menembus tim ini. Sangat
mengesankan! Turnamen pertama, Final pertama, dan aku berharap gelar emas
pertama! Turnamen antar sekolah tingkat SMA di New York itu diikuti oleh banyak
perserta dan kami selangkah lagi akan menjadi raja di New York.
Pertandingan dimulai. Laga final penuh
gengsi, penuh tensi. Laga berjalan keras. Penuh dengan teriakan supporter
masing masing sekolah. Aku merasa semua akan baik baik saja. Sampai pada
akhirnya, aku dijatuhkan dengan sengaja saat ingin melakukan lay up. Posisi badan yang tidak
menguntungkan membuatku salah bertumbu saat mendarat. Pergelangan tangan
kananku patah! mengerikan sekali! Segera aku dilarikan ke rumah sakit. Rasa
sakit ini telah mengalahkanku. Aku menangis, menahan rasa sakit juga
meninggalkan lapangan dengan keaadaan tidak berdaya.
“Kau tidak cedera kan, Jack?” suara
Jarret, bersama Anthony juga Kid.
Aku tidak tau apa yang mereka pikirkan,
jelas jelas aku kesakitan karena pergelangan tanganku patah. Mereka masih bisa
menayakan kalau aku tidak cedera.
“Tenang, Jack. Serahkan sisanya kepada
kami, kami bisa membawa kemenangan untukmu mala mini. Percayalah pada kami”
Lagi-lagi kata kata David yang menenangkanku.
Meskipun aku sedang dalam keadaan kesakitan namun setidaknya bisa membuatku
merasa baikan.
Entah apa yang membuatku tertidur hingga
keesokan harinya aku terbangun dengan tim yg kemarin berjuang di final membawa
sebuah piala besar dikamar rawat inapku. Aku memegang piala itu dengan tangan
kiriku.
“Akhirnya aku dapat meraih piala yang
seharusnya kemarin aku pegang.”
“Hahaha, sayangnya kau tidak dapat
memegangnya dengan tangan terbaikmu, Jack!” Mr. Bud menyahuti.
Semua tertawa sampai aku sadar bahwa
David tidak ada di ruang itu. Aku bertanya pada teman temanku.
“Dimana Kapten?”
“Dia sedang berurusan dengan orang
tuamu.”
“Berurusan tentang apa?”
“Tentang karirmu sebagai Atlet Basket”
Mr. Bud menjawab
“Maksudnya?”
“Ayahmu, kemarin marah besar kepada tim.
Dia sangat murka dengan cederamu. Dia kemarin bilang kalau dia tidak akan
mengijinkanmu bermain basket”
Aku terdiam.
“kesalahanku, aku yang semestinya bicara
dengan orang tuaku. Ini kesalahanku.”
“yakinlah pada kapten, dia terkadang
bisa menghipnotis orang dengan kata katanya. Hahaha” kata Kid mencairkan
suasana
“Yah, berharap saja dia menang melawan
ayahku. Haha”
Dengan kondisi seperti ini aku menjalani
hari dengan sulit. Meskipun pada akhirnya David memenangkan perdebatan dengan
ayahku, ayahku seperti belum rela melepaskanku kembali ke lapangan. Akupun
terus berusaha menyakinkan ayahku kalau tidak perlu ada yg ditakutkan dengan
kondisiku.
Cedera pada pergelangan tangan kananku
membuatku belajar menjadi seorang kidal. Tapi aku tidak ambil pusing, dengan
seperti ini aku bisa melatih kemampuan tangan kiriku yang kurang berguna jika
aku bermain basket, Haha. Kan Asik, setelah cedera bukan semakin jelek,
melainkan semakin jago bermain basket.
“three
point!! haha”
Akhirnya aku dapat menggunakan tangan
kananku kembali. Sekitar dua bulan aku berkutat dengan cedera ini. Aku dapat
memulihkan permainan terbaikku dengan cepat. Aku bangga, disini teman temanku
yang semula meledekku, sekarang membantuku kembali ke tim. Aku bisa melanjutkan
apa yang mereka telah bangun selama satu tahun ini. Dan kami telah siap
melanjutkan apa yang senior kami bangun dengan status kapten tim ada pada
tanganku.
“Beda Generasi, Satu tujuan, JUARA!!”
Begitulah kata kata Kapten David, mentor
dan sekaligus panutan bagiku. Karena sesuatu tidak akan ada apa apanya tanpa
adanya sang pembuat sejarah. Dan bagiku sesuatu itu adalah TIM, dan sang
pembuat sejarah adalah mereka para senior yang telah memberikan segalanya
terhadap tim. Bagaimanapun aku ingin menjadi seperti mereka!
“aku adalah bola basket. Tanpa mereka
yang menggerakkanku(baca: mendukungku), aku hanya bisa diam. Dan dengan mereka
yang menggerakkanku, aku bisa melakukan segalanya.” - anonim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar